Kota Malang dan Jalan Ninja Tukang Tambal Ban yang Misterius. Itu aku temui saat hidup di kota pendidikan tersebut.
Suasana kota Malang selalu membuatku hidup lebih bergairah, karena di sana aku menemukan ribuan jenis kesibukan manusia tiap harinya. Kemudian aku menjadi bagian dari mereka.
Sudah 10 tahun lebih aku hidup di Kota Malang. Di usiaku yang sudah mencapai 28 tahun ini, semua menjadi serba merepotkan. Pasalnya, aku cuman pemuda yang hidup hanya dengan ijazah SMP. Skill-ku hanya satu paket, tambal ban wa ala alihi wa ashabihi.
Selama di Malang, aku sering pindah-pindah kos. Kadang juga hidup menggelandang. Jadi tukang tambal ban pun juga ikut orang. Kadang sehari bisa ada 10 orang yang nambal, kadang juga tidak ada sama sekali.
Sebagai seorang tambal ban, aku bingung juga saat berdoa kepada Tuhan. Pernah suatu ketika saya berdoa di masjid. “Ya, Tuhan. Lancarkanlah rizky dari-Mu kepada hamba”.
Seseorang kemudian menyeletuk, “Minta agar orang lain dapat sial ya, mas. Biar ban-nya bocor!”
***
Pertama Kali Merantau di Kota Malang
Dulu saat pertama kali ke Malang, aku sebenarnya ingin sekolah SMA. Aku datang dari Tarakan (Kalimantan Utara) dengan bekal baju satu koper dan uang sejuta. Saat itu aku datang bersama Kakak-ku. Dia bekerja di sebuah pabrik yang entah apa namanya. Satu bulan kami di Malang, kakakku hilang. Kabarnya, ia ikut jaringan pengedar narkoba. Entah hilang karena kabur dari polisi atau masuk penjara. Aku tak tahu apa-apa.
Orang tua kami sudah meninggal. Tidak ada tanah atau warisan di Tarakan. Itu membuatku bingung, karena tidak ada tujuan untuk pulang. Mau pulang ke mana, rumah aja ndak punya, pikirku. Keluarga Bapak dan Ibu juga tidak ada yang kami kenal. Mereka dulu cerita, bahwa mereka tak punya keluarga. Keduanya hidup sebatang kara. Entahlah.
Aku juga tidak tergolong pintar di sekolah. Sama sekali tidak pintar. Saat di Malang, aku hanya masuk seminggu di awal kelas 1 SMA. Setelah kakak-ku hilang, aku tak pernah lagi ke sekolah. Dan tidak ada yang mencariku di kosan.
Saat itu usiaku masih 16 tahun. Hal yang masih sangat ku ingat ialah saat enam bulan berlangsung di Malang, aku ikut aksi di bundaran Tugu Malang, depan Balai Kota. Kawan-kawan memberi nama, Aksi Reformasi dikorupsi.
Aksi yang berlangsung serentak di seantero nusantara tersebut berlangsung dengan sangat meriah. Bagiku, aksi tersebut seperti pesta. Tempat kami berteriak-teriak mengumpat penindasan (yang entah apa itu maksudnya, aku tak paham).
Sesekali aku juga berteriak semauku. Aku mengumpat pada kehidupan. Mengumpat kepada siapa pun yang memegang kebijakan.
DPR goblok,…
Wakil Rakyat tidak becus ngurusi negara.
Anggota Dewan kenyang proyekan, kami yang sengsara! [*]
Leave a Reply