Caksyarif.my.id – Aktivis Digital dalam Mencegah Gerakan Islam Transnasional. Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbanyak di dunia berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC), ada 231,05 juta warga Indonesia yang beragama Islam. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang masa depan Islam di Indonesia. Dengan adanya dua ormas besar di Indonesia yaitu Nahdlatul Ulama’ dan Muhammadiyah yang sejak awal sudah konsisten untuk menebarkan ajaran Islam yang ramah dan toleran kepada siapa saja tentunya menambah kekuatan basis Islam di Indonesia.
Tapi bagaimana jadinya jika pemeluk Islam kehilangan daya nalarnya, kemudian merasa bahwa faham yang dianutnya yang paling benar dan menganggap orang lain yang tidak sefaham dengannya yang monolitik. Bukti yang membenarkan adanya individu dengan sikap yang memonopoli kebenaran ini banyak ditemukan.
Bahkan sejarah Islam mencatat, ada banyak kelompok Islam yang merasa paling shahih dalam hal keimanannya dan secara sporadis gejala fundamentalisme ini mudah untuk dirasakan. Kemudian mereka yang telah terdiagnosa mengalami gejala fundamentalis ini pada tingkat paling ekstremnya mudah terperangkap dalam terorisme.
Salah satu teori yang paling sering dirujuk dalam membahas fundamentalisme ini adalah kegagalan umat Islam menghadapi arus modernitas yang dinilai telah menyudutkan Islam. Ketidakmampuan golongan tersebut menyebabkan mereka bergerak untuk mencari dalil-dalil agama yang kemudian dibenturkan dengan golongan penganut faham Islam moderat.
Teori selanjutnya mengatakan fundamentalisme bisa marak hidup khususnya di Indonesia disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Aktivis Digital dalam Mencegah Gerakan Islam Transnasional
Sebagai bentuk respon terhadap fenomena tersebut, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentunya harus mengambil sikap untuk menjaga ‘khittah’ Nahdlatul Ulama’. Khittah NU yang berlandaskan faham Ahlussunnah wal Jamaah tidak diragukan lagi karena sudah mencakup dasar-dasar amal keagamaan dan kemasyarakatan. Tentu dalam hal ini sejalan dengan menghadapi gerakan Islam Transnasional yang marak tumbuh dan berkembang di masyarakat juga.
Melihat gerakan Islam transnasional yang cenderung sistematis dan terstruktur dengan baik, tentunya kader PMII juga harus menyiasatinya dengan cara yang terstruktur dan sistematis bahkan harus lebih sempurna dalam melawan arus gerakan mereka. Salah satu caranya dengan mencari informasi apa yang mereka gunakan untuk memasifkan gerkan mereka. Berdasarkan riset yang berjudul “Pergeseran Literasi Pada Generasi Milenial Akibat Penyebaran Radikalisme di Media Sosial” menunjukkan bahwasanya generasi milenial mudah terpapar faham radikalisme melalui media sosial. Dimana bentuk dan pola pergeserannya yaitu dari literasi buku ke dunia cyber.
Penyebaran konten melalui media sosial ini berdampak secara signifikan pada pola pergeseran literasi terkait ilmu keagamaan, pendidikan, bahkan hukum agama. Sebagai generasi milenial, kader PMII tentunya juga menjadikan media sosial sebagai pilihan utama dalam mencari informasi yang sifatnya instan. Momen ini dimanfaatkan sebagai bentuk waspada kader PMII untuk bertransformasi menjadi aktivis digital dan memerangi gerakan Islam transnasional.
Pemanfaatan media sosial bagi kader PMII bisa dimassifkan ketika melaksanakan kaderisasi formal seperti Mapaba, PKD, PKL, hingga PKN. Kaderisasi formal tersebut tentunya memiliki pembahasan khusus mengenai media. Kesempatan ini bisa digunakan sebagai rencana tindak lanjut para kader untuk mengaktualisasikan ilmunya untuk melawan propaganda gerakan Islam transnasional.
Sehingga dengan metode tersebut, para kader akan teruji daya pikirnya untuk menuangkan ide dan gagasan dari kesimpulan materi ayng mereka dapatkan kemudian mereka publikasikan ke media sosial mereka. Misalkan saja, satu kader memiliki sekitar 500 pengikut di instagramnya lalu ada 60-80 kader yang mengikuti kaderisasi formal tersebut kemudian seluruhnya mempublikasikan ke akun instagram mereka masing-masing. Tentu akan ada banyak orang diluar sana yang bisa melihat semacam kampanye berisikan nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Aswaja.
Oleh karenanya, menjadikan media dan literasi sebagai upaya untuk memerangi paham Islam transnasional merupakan sebuah keniscayaan. Pada titik inilah peran PMII sebagai intelektual, akademisi dan pengajar untuk menggeser literasi milenial menuju kepada literatur yang mengedepankan prinsip tawazun, tasamuh dan tawasuth. Aktivis Digital dalam Mencegah Gerakan Islam Transnasional.
*Penulis: Riza Ummami (Kader PMII Rayon “Kawah” Chondrodimuko)
Artikel ini telah rilis di website resmi PMII Kota Malang
Leave a Reply