404

Not Found

The resource requested could not be found on this server!


Proudly powered by LiteSpeed Web Server

Please be advised that LiteSpeed Technologies Inc. is not a web hosting company and, as such, has no control over content found on this site.

Kuasa Media Sosial, Hegemoni, dan Gerakan PMII

Kuasa Media Sosial, Hegemoni, dan Gerakan PMII

Kuasa Media Sosial, Hegemoni, dan Gerakan PMII (freepik.com)
Kuasa Media Sosial, Hegemoni, dan Gerakan PMII (freepik.com)

Caksyarif.my.id – Kuasa Media Sosial, Hegemoni, dan Gerakan PMII. “Kita diperintah, pikiran-pikiran kita dicetak, selera-selera kita dibentuk, gagasan kita dimodelkan, sebagian besar oleh orang-orang yang tak pernah kita kenal”-Edward Bernays-

Kini media benar-benar menjadi komponen vital yang sangat dekat dengan kehidupan manusia, media bisa merubah menjadi nilai yang positif ketika mengeksprisikan dirinya dalam bentuk informasi yang akurat dan benar, namun pada saat yang sama media mampu berubah menjadi momok yang menakutkan, media dengan mudah mampu dimanfaatkaan untuk mempengaruhi pola pikir manusia dengan memberikan informasi yang manipulatif dan menyesatkan, diposisi itulah konten media seperti pedang dengan dua mata sisi.

Namun terlepas dari kontennya yang benar atau salah, baik atau buruk, harus diakui bahwa media menjadi salah satu yang paling ampuh digunakan untuk sebagai alat hegemoni semenjak perkembangan teknologi dalam era digital, dan media seringkali digunakan untuk kepentingan politik-ekonomi golongan semata untuk mempertahankan kekuasaannya.

Seperti kisah yang terjadi di Amerika Serikat, dimasa kepemimpinan pemerintahan Woodrow Wilson sebagai presiden ke-28 dia memenangkan pemilihan presiden tahun 1916 dengan platform “Perdamaian Tanpa Penaklukan”, dimasa berkecamuknya Perang Dunia Ke-1. Melalui lembaga komisi pemerintah yakni Creel Comitee dan penguasaan media, Wodrow Wilson mampu mengubah warga negara Amerika yang awalnya anti-terhadap perang mengubahnya menjadi haus akan darah.

Proses tersebut hanya membutuhkan waktu 6 bulan untuk mengubah gerombolan massa warga Amerika menjadi brutal dan menjadi sangat bengis dalam perang, bernafsu untuk menghancurkan semua yang berbau jerman. Metode-metode tersebut yang kemudian seringakali digunakan untuk mengontrol otak dan pola pikir warga negara Amerika Serikat.

Kuasa Media Sosial dan Hegemoni

Kisah proses hegemoni oleh kekuasaan yang terjadi di Amerika Serikat seperti yang diulas diatas adalah salah satu contoh kekuasaan negara mempengaruhi opini kesadaran warga Amerika melalui lembaga khusus dan media massa. Proses hegemoni oleh kekuasaan selalu mengandaikan keinginan untuk mengusai kesadaran dan mengontrol pikiran masyarakat, kebohongan bisa saja menyamar menjadi kebenaran dan pemasungan terhadap hak warga negara bisa saja terjadi dengan berkedok pembangunan.

Antonio Gramsci adalah satu-satunya tokoh yang paling fenomenal ketika membahas konsep hegemoni, bagi Gramsci yang menjadi konsep teoritis awal dari hegemoni adalah bahwa suatu kelas mengoprasikan kekuasaannya terhadap kelas-kelas dibawahnya tidak hanya dengan cara kekerasan dan persuasi

Baca juga:  Membaca PMII Kota Malang

Hegemoni sempat digunakan oleh Lenin sebagai strategi untuk revolusi bagi kelas pekerja untuk memperoleh dukungan, namun Gramsci mengubah hegemoni menjadi sebuah konsep dengan tambahan dimensi baru, dengan memperluas pengertiannya yang mencakup juga peran kelas kapitalis untuk memperoleh dukungan kekuasaan negara dalam mempertahankan akumulasi kapitalnya.

Jadi, hubungan antara dua kelas utama yaitu pemodal dan buruh bukan merupakan hubungan pertentangan yang sederhana antara dua kelas tersebut, namun hubungan terjadi secara kompleks dengan melibatkan kekuatan-kekuatan sosial lainnya melalui hubungan konsensus/persetujuan dengan menggunakan kepemimpinan politik, lembaga kebudayaan, komunitas agama untuk mempertahankan kepentingan posisi kelasnya, yang salah satunya adalah melalui media massa.

Paling umum media akan dianggap mempermudah dan memperluas sebaran akses informasi dan komunikasi, namun tak banyak yang melihat lebih jauh, bagaimana media dapat dikuasai dan kepentingan terselubung apa dibalik pengusaan media?

Seperti yang dilakukan banyak peneliti, media mainstream yang berseleweran di Indonesia hanya dikuasai oleh kelompok elit oligarki, misalkan Ross Tapsel, dalam penelitiannya menunjukkan gejolak dan dinamika dunia digital atau pengusaan media mainstream didominasi oleh delapan konglomerat yakni Chairul Tanjung (Trans Corporation), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy Sariaatmadja (Emtek), keluarga Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), James Riady (BeritaSatu), Dahlan Iskan (Jawa Pos), dan Jakob Oetama (Kompas Gramedia).

Mereka dengan sangat mudah dalam mempengaruhi masyarakat yang terkoneksi dengan kuasa medianya, karena pengusaan alat yang berpotensi besar dalam membawa arus perubahan. Artinya para elit-oligarki ini dapat dengan mudah untuk mengontrol dan “mencuci” pikiran masyarakat melalui media yang dikuasainya.

Disisi lain mereka juga terhubung dengan para elit-politik kekuasaan, posisi itu bisa kita lihat ketika dalam masa kampanye pemilhan umum, polarisasi politik media terlihat sangat jelas, semuanya dilakukan bermaksud untuk mempengaruhi pilihan politik warga. Para pembisnis media ini melihat informasi sekedar komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan mengabaikan makna sosial, budaya, atau akibat jangka panjang lainnya dari informasi tersebut.

Dengan cara itu sebetulnya mereka secara langsung mengalienasi terhadap kesadaran masyarakat, mereka hanya berfikir melalui logika pertukaran kekuasaan materil baik secara ekonomi dan politik. Kuasa hegemoni media ini seterusnya akan menjadi arus utama dalam dunia digital dan dikonsumsi secara mentah-mentah oleh publik ketika tidak diimbangi oleh kekuatan kontra-hegemoni kuasa oligarki oleh komunitas gerakan sosial termasuk Pegerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Baca juga:  PMII Kota Malang dan Strategi Pengembangan Kader

PMII Dalam Upaya Gerakan Kontra-Hegemoni Kuasa Media Sosial

Di era muktahir ini proses aktifitas sosial paling banyak berada dalam wilayah digital, PMII sebagai salah satu entitas gerakan sosial sudah selayaknya memanfaatkan dan membangun perkembangan dalam lanskap gerakan sosial, dengan salah satunya adalah gerakan digital media massa. Bukan sekedar gerakan digital yang tak mempunyai arah dan landasan, gerakan PMII dalam dunia digital media massa harus dibangun dengan konsolidasi proses ideologisasi yang progresif sebagai sandaran, proses tersebut bagi penulis hal yang paling fundamental sebelum jauh masuk dalam tahap metode gerakan digital.

Sebagaimana uraian dalam paragraf sebelumnya bahwa oligarki adalah subjek yang mengalienasi masyarakat melalui proses hegemoni media massa, dengan menggunakan media hanya untuk kepentingan dalam mempertahankan kekuasaan (ekonomi-politik). Dalam porsi kekuasaan media tersebut masyarakat hanya dimanfaatkan sebagai objek konsumen kepentingan kelompok elit semata

Dengan begitu, maka bagi penulis solusi yang paling urgent untuk segera dilakukan dan ini menjadi hal yang paling fundamental adalah pendidikan politik idelogis progresif bagi para kader PMII untuk mengimbangi kekuatan secara ideologis terhadap kelompok pemilik pemodal atau oligarki.

Secara praktis mulai membuka wacana diskursus kritis dalam ruang kaderisasi formal maupun informal, sebagai upaya menumbuhkan kesadaran kontra-hegemoni. Kemudian diikuti dengan memperkenalkan bahan bacaan pilihan yang sesuai dengan upaya ideologisasi, seperti semisal bacaan-bacaan kiri progresif. Kematangan proses ideologisasi inilah yang nantinya akan membangun kekuatan gerakan yang prima.

Sebab selama ini bagi penulis, PMII masih lemah dalam proses ideologisasi, justru lebih dominan terperangkap dalam sekat ideologi sempit dan abstrak, sehingga berpengaruh pada upaya gerakan itu sendiri. Kebiasaan itu yang seharusnya sejak awal perlu dihindari agar supaya tidak terombang-ambing dalam dinamika ekonomi-politik kontemporer.

Jika proses ideologisasi sudah dapat dilakukan, maka dengan sendirinya PMII akan memanfaatkan gerakan digital yang independen (secara politik, ekonomi, dan kebudayaan) sebagai salah alat untuk memperluas wacana perubahan sosial dan sekaligus upaya mempersempit gerak kuasa media oligarki.

*Oleh : Ali Fikri Hamdhani (Pengurus Rayon Al-Hikam)

Artikel ini telah rilis di website resmi PMII Kota Malang

Pejalan kaki di Kota Malang